Tokek

Kulongokkan kepala melewati celah lemari sempit itu. Dalam keremangan, kulihat reptil itu melongo menatapku. Ukurannya lumayan besar ketimbang jenisnya. Mantap, pikirku, sembari berbalik dan mengambil tongkat panjang. Kubersiap menyodoknya. Kuselipkan tongkat panjang itu di celah. Sedikit demi sedikit kuatur supaya tongkat panjang tepat di atas kepala si reptil. Untung bagiku reptil itu tak berkutik sedikit pun, melongo pasrah kepadaku—atau begitulah pikirku.
Inilah kesempatanku. Pucuk tongkat yang keras sudah tepat lima senti di atas kepala kasar tokek, reptil itu. Kubersiap mengayun tongkat sekuat tenaga, berharap dalam hati. Satu, dua, … Di luar dugaan, tepat sedetik sebelum tongkat kuayun, si tokek seakan bangkit dari kesadarannya, memutar badan, dan langsung ngibrit, ngumpet di celah lemari yang lain. Terang, saat itu ongkatku menyabet angin. Aku mati kutu oleh seekor tokek.
Dua jam yang lalu, Mas Taoket datang. Suami kakak sepupuku ini bilang, dirinya lagi mencari tokek. Dia baru pulang dari Kota. Katanya, di sana ada orang ingin membeli tokek seharga tiga juta rupiah. Pasti maniak tokek ini, batinku geli. “Tapi harus tokek yang beratnya minimal satu ons. Juga, tokeknya tak boleh mati, harus sehat walafiat,” terang Mas Taoket. Inilah alasan aku mendadak jadi pemburu tokek sekarang.

♫♫♫

Dalam berbagai peristiwa yang kualami, sering terbersit petuah empiris di dalamnya. Petuah ini—yang tidak jelas betul-betul petuah atau “keluh kesah di otak”—berbunyi: Sesuatu yang tak kita inginkan sering kita temui, tapi saat sesuatu yang tak kita inginkan itu benar-benar kita inginkan, ia tak kunjung nongol di hadapan kita. Dan petuah macam inilah yang sekarang lagi berkecamuk di otakku—mungkin sembari mengejekku puas. “Sesuatu” itu tak lain tak bukan tentu saja tokek.
Kucari makhluk yang mendadak jadi langka di rumahku itu di tempat mana pun aku lihat ia biasa mangkal. Kulongok tumpukan genting bekas di belakang rumah, tak kutemukan ia. Kubalik tampah yang ia biasa ngendon di dalamnya, tak tampak juga. Intinya, semua tempat (di rumah) sudah kujelajah dan akhirnya kuakui kebenaran petuah tak jelas tadi. Celah lemari yang aku obok-obok tadi jelas merupakan harapanku satu-satunya. Maka, dengan semangat materialisme yang meluap-luap, kutunggu datangnya malam: waktu saat tokek keluar dari persembunyiannya.

♫♫♫

August Rush itu film yang bagus sekali. Walau saat permulaan kisah menampilkan salah satu efek (negatif) dari liberalisme Amerika, substansi film itu sama sekali bukan tentang liberalisme. Ia mengungkap arti keluarga, musik, dan nilai-nilai kemanusiaan, juga cinta sejati.
Setelah menonton August Rush, kuberniat “mangsaku”. Waktu yang ditunngu telah tiba kini. Benar saja, reptil berkaki empat itu terlihat sedang asyik merayap di dinding, menghirup udara segar di luaran. Tanpa tunggu lama, kuambil tongkat panjangku tadi.
Tapi aku mikir sebentar. Aku ragu, bagaimana jika aku memakai tongkat nanti malah akan membunuhnya. Duit tiga juta bisa-bisa melayang. Maka kuurungkan niatku sambil mencari alternatif lain.
Akhirnya kuputuskan hendak menangkap langsung itu tokek. Tapi, tunggu, tentu tidak dengan tangan telanjang. Ideku menuntunku buat memakai plastik sebagai pembalut tanganku.
Gila, kali ini aku bertatapan empat mata dengan tokek bisa sedekat ini. Tak beda dengan tadi pagi, reptil itu masih saja melongo. Tubuhnya tenang sekali seakan jantungnya pun tidak bertedak. Aku tak akan menyepelekan ketenangannya ini. Aku telah belajar dari pengalaman tadi pagi. Mungkin ia terlihat diam, namun bisa ia menerkammu kapan saja. Kusiagakan konsentrasiku kali ini.
Kubalut tanganku dengan plastik. Kujulurkan tanganku, bersiap merasakan kulit berbintik itu dan, bila mungkin, dicaplok mulutnya yang bergerigi itu.
Sekarang tanganku—lebih tepatnya telunjukku—berjarak lima senti dari kepala sang tokek. Namun, sebuah ingatan tiba-tiba memenuhi benakku. Aku teringat guru Sejarahku saat SMP yang mengatakan bahwa tokek, menurut mitologi Jawa, adalah indikator rejeki. Tokek-tokek di rumah kita merupakan “penangkap” rejeki Tuhan buat kita, kesejahteraan buat rumah yang ia tempati. Maka, tokek jangan diganggu, apalagi dibunuh. Ingatan itu membimbangkanku sekejap.
Dalam kebimbangan itulah, sang tokek, tanpa dinyana-tanpa diduga, kabur dengan cepat, mengulang “prestasinya” tadi pagi. Ia ngumpet di persembunyiannya lagi.
Aku tertegun sejenak. Bukan karena kaburnya tokek itu di depan mataku dua kali—yang berarti berhasil mempecundangiku dua kali—, tapi oleh takhayul yang dengan sukses ditanamkan kuat-kuat oleh guru Sejarahku ke dalam benakku. Kalau benar tokek adalah “penangkap” rejeki Tuhan, lantas apa tujuan maniak tokek ini berani menghargai tokek begitu mahal—tiga juta rupiah?
Saat itu nalarku rupanya bersekongkol dengan takhayul, rasio akur dengan bid’ah. Dan, akhirnya, kusimpulkan, maniak itu pasti berniat mencuri rejeki orang, menimbunnya buat dirinya sendiri. Maka kuurungkan niatan berburu tokek ini, kuhapuskan sama sekali dalam daftar rencanaku.

♫♫♫

Besoknya, Mas Taoket datang lagi. Ia hendak berburu tokek di rumah mertuanya—yang berarti pula rumah bibiku.
Bibi menunjukkan padanya tempat persembunyian tokek yang ia yakini sebagai tokek terbesar yang pernah ia lihat. Tempat itu adalah tumpukan karung jerami bekas yang kumal dan sangat kotor.
Mas Taoket mengangkat tumpukan karung itu pelan-pelan. Benar juga, setelah diangkat, muncul seekor tokek yang melongo menatap kami. Tokek itu luar biasa besar, dua kali lipat ketimbang tokek di rumahku. Bibi berbisik, “Bagaimana, besar kan?”
Rona kegembiraan tak terpancar sama sekali di wajah Mas Taoket. Ia malah melenguh, “Ini sih kurang besar. Tokek seharga tiga juta itu besarnya kudu selengan…”
Mendengar itu, Bibi muntab. “Sampai kucing bertelur pun, tak bakalan ada tokek normal ukuran segitu. Itu namanya tokek jadi-jadian. Aneh-aneh saja.”
Bibi bersungut-sungut meninggalkan kami. Mas Taoket bengong. Aku tersenyum geli sembari mengembalikan tumpukan karung itu ke tempatnya semula. Tokek itu tetap saja melongo.
(Mangkang City, 030809)